Fenomena Publik Figur ke Ranah Pemerintahan : Aspek Popularitas atau Kapabilitas

banner 468x60

Oleh Muhammad Arman Malik

Mahasiswa Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan IlmuPolitik, Universitas Andalas

banner 336x280

 

Akhir-akhir ini, kondisi politik di Indonesia sedang tidak baik-baik saja, di tengah huru-hara efisiensi anggaran terdapatsebuah sorotan untuk pengangkatan para publik figur ke ranah pemerintahan.  Fenomena ini menjadi sebuah tanda tanya besar apakah demokrasi bangsa kita membutuhkan seseorang yang punya keahlian di bidangnya atau hanya bermodalkanketenaran saja.

 

Publik figur menurut Hikmahanto Juwana adalah mereka yang dengan atau tanpa jabatan publik, sudah sering menjadi sorotan dan punya dampak dalam pembangunan opini publik. Kelebihan itu menjadikan para publik figure punya peluang untuk masuk ke ranah pemerintahan melalui aspek sepertipengaruh yang besar untuk membentuk pandangan masyarakat dalam memahami suatu isu.

 

Hal ini tentu menimbulkan sebuah gejolak yang besar bagi kita melalui pertanyaan apakah mereka mampu untuk bertanggung jawab dalam posisi di pemerintahan atau punya kapabilitas yang mumpuni dalam mengelola kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat.

 

Menurut data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang dirilis pada Maret 2024, terdapat sebanyak 22 artis yang lolos menjadi anggota DPR RI periode 2024-2029. Nama-nama seperti Dede Yusuf, Ferrel Bramasta, Rano Karno, dan Eko Patrio. Nama para publik figur di atas pasti tidak asing di telinga masyarakat kita, mereka adalah para aktor, presenter, produser dan komedian yang beralih ke dalam dunia pemerintahan. Tetapi apakah semua hal di atas menjamin bahwa dalam pelaksanaan pemerintahan para publik figurakan menyuarakan hak masyarakat, mereka yang melejit keranah politik tidak terlepas dari pengaruh mereka dalammasyarakat itu sendiri, pembangunan opini masyarakatmenentukan bagaimana arah kepercayaan serta kecenderungan masyarakat dalam proses pemilihan nantinya.

 

Hal ini tentu menguntungkan para publik figur karena jika dibandingkan dengan calon atau kandidat yang punya latarbelakang serta pondasi akan nilai-nilai politik tentu tidak adil rasanya. Para calon yang tidak punya basis suara dalam masyarakat cenderung tidak punya kesempatan untuk memenangkan kursi ke pemerintah, berbeda dengan publik figur yang mempunyai kelompok pendukung sehingga masyarakat tidak bingung dalam memilih karena mereka sudah tau bagaimana karakteristik dari publik figur ini.

 

Fenomena publik figur ke ranah pemerintahan sebenarnya tidak menyalahi hukum yang ada dan malahmerupakan sesuatu yang dijamin oleh hukum itu sendiri. Sesuai dengan pasal 28D Ayat (3) UUD 1945 yang berfungisebagai fondasi Konstitusional untuk menjamin hak setiap warga negara supaya terlibat dalam proses politik, tidakterkecuali para publik figur. Oleh karena mereka sah-sah saja untuk terlibat di dalam sistem pemerintahan seperti yang sudah terjadi saat sekarang ini.

 

Namun ada aspek yang menjadi catatan penting dalam fenomena ini, karena aktorpemerintahan pada dasarnya bukan hanya yang memenuhisyarat dalam hukum yang ada seperti UU No 7 Tahun 2017 tentang pemilu, tetapi lebih kepada faktor kapabilitas sertakesiapan para publik figur ini dalam mengelola kepentinganuntuk hajad orang banyak, kalau hanya sekedar syarat seperti minimal tamatan SMA,lalu umur 21 tahun itu bukanlah indikator pasti untuk menentukan apakah calon aktorpemerintah ini layak untuk menduduki kursi yang dipercayakan oleh masyarakat.

 

Kita bisa belajar dari kasus  yang kemarin cukup hangat diperbincangkan, yaitu kasus Gus Miftah, melansir dari detikNews pendakwah dan juga utusan khusus presiden itumenjadi sorotan publik usai menghina dan mengolok-olokprofesi seorang penjual es teh dengan bertanya lalumelontarkan kata umpatan. Hal ini tentu memicu reaksi negatif dari masyarakat luas karena dari kasus inimenunjukkan kepada kita bahwa kapabilitas searing dalamranah pemerintahan bukan hanya menyangkut soal popularitas, karena dalam konteks kepemimpinan publik, ucapan seperti pada kasus Gus Miftah bisa menghilangkan kepercayaan masyarakat, oleh karena itu dibutuhkan sosokpublik figur yang tidak hanya mengandalkan popularitas tetapi bersedia untuk menjaga komunikasi, berempati sertapunya kesadaran sosial yang tinggi sehingga nantinya merekamampu untuk mengayomi masyarakat secara penuh.

 

Namun kita tidak bisa berpandangan untuk memukul rata semua publik figur yang ke ranah pemerintahan bahwa mereka semua itu tidak mampu untuk mengelola tanggungjawab sebagai aktor pemerintah, karena bagaimanapun fenomena ini selayaknya sebuah dua kutub yang berlawanan, dimana ada publik figur yang mampu mengayomi bahkanmemahami masyarakat dengan baik yang bukan hanyamengandalkan popularitas tetapi mampumempertanggungjawabkan perannya dalam mengabdi kepadamasyarakat. Di lain sisi ada tokoh yang hanya menggunakan hak istimewanya sebagai publik figur di mata masyarakat untuk mendapatkan posisi di pemerintahan tanpa mampumerealisasikan kewajibannya kepada khalayak umum.

 

Oleh karena itu, fenomena ini sudah seharusnya menjadicerminan bagi kita sebagai masyarakat untuk tidak berpatokan pada popularitas, citra yang baik di masyarakat, ataupunkekayaan yang besar dari seorang publik figur, tetapi aspek terpenting yaitu kapabilitas yang mencakup pengetahuan, keterampilan mengelola, kemampuan komunikasi, dan sikap serta etika kepemimpinan. Karena aspek kapabilitas akan menentukan arah dari sistem pemerintahan kita nanti, apakahakan berpihak pada masyarakat atau hanya menguntungkan para pejabat.**

 

banner 336x280